Setelah Mandiri, Lebih Suka Bermain Bersama Teman

Bayangkan situasi ini: seseorang yang telah tumbuh menjadi dewasa, melanjutkan studi hingga jenjang perguruan tinggi, bekerja dengan karir mapan, dan bahkan sudah membentuk keluarga sendiri—namun tetap ketergantungan pada orangtuanya. Masih minta dukungan ekonomis, masih merujuk kepada orangtua dalam membuat pilihan penting, atau mungkin masih menjadikan kediaman orangtua sebagai pelabuhan ketika dihadapkan dengan tantangan hidup. Adalah hal seperti ini yang ingin kita lihat terjadi pada buah hati kita?

Sebagai orangtua, pasti kita harap anak berkembang menjadi individu yang otonom. Kami inginkan mereka mampu merawat kebutuhan diri sendiri, menemui rintangan dalam kehidupan, serta tak secara terus-menerus memerlukan kami. Akan tetapi, apakah kita pernah mencermati bahwa kesendirian anak dapat membawa emosi yang rumit?

Saat Si Kecil Lebih Suka Bergaul dengan Sahabatnya

Pada suatu hari senja, saya bersama isteri merancanakan untuk menuju kediaman Mbah guna mendapatkan beberapa barang. Kedua kita telah menyiapkan diri untuk keberangkatan tersebut, sementara memikirkan bahwa buah hati kita umumnya selalu bergabung sebagaimana adanya. Akan tetapi, pada kesempatan itu tanggapannya tidak sama dengan yang diharapkankan.

"Aku ingin pergi bermain ke milik Zia," ucapnya dengan nada tegas.

Kami terdiam sebentar. Wah... anak kita yang masih berumur tiga tahun telah punya keinginan tersendiri. Alih-alih gembira untuk pergi bersama kedua orangtuanya, dia justru lebih suka main dengan kawankannya.

Kami berusaha mengonfirmasi, "Jadi, kita akan menuju ke rumah Mbah ya?"

"Iya," jawabnya tanpa ragu.

Kita memulai perjalanan, namun sepanjang jalan terdapat halangan dalam hati. Hal ini tidak berkaitan dengan si anak yang enggan menuju rumah Mbah. Justru, itu adalah suatu pemahaman: putra kita tengah tumbuh.

Di Antara Kebanggan dan Perasaan Kehilangan

Pada satu hal, kita pastinya merasa sangat senang. Seorang anak yang bisa bersikap mandiri merupakan cerminan dari metode pengasuhan yang efektif, kan? Dia berani membuat keputusan secara independen, membuktikan bahwa dia mempunyai keyakinan pada kemampuan dirinya serta mampu menjalankan pilihan dengan bijaksana. Bukan begitu harapan setiap orangtua?

Akan tetapi, disatu sisi terdapat rasa ganjil yang susah untuk diceritakan. Terdapat sebentuk kesedihan dan kangen kecil. Dahulunya, dia selalu menginginkan dirinya turut serta kemana saja kita melangsir. Kini, dia mulai membina alamnya tersendiri. Boleh jadi dia merasa lelah dengan setiap perjalanan bersama kami? Ataukah hal tersebut menjadi indikasi bahwa hubungan dekat antara kita sudah semakin menipis?

Sebenarnya, istriku merupakan ibu yang hampir setiap saat, yaitu 24 jam sehari, senantiasa ada bersama anaknya. Mengapa dia bisa merasa belum cukup dengan hal itu?

Mempersiapkan Hati Menuju Kekerasan Diri Si anak

Kebebasan tentu merupakan suatu karunia, namun juga menjadi pengujian bagi para orangtua. Seringkali kami merasa bahwa kesulitan utamanya adalah cara mengajarkan ketangguhan pada anak-anak. Akan tetapi, sesunguhnya ada tantangan lain yang tidak kalah besarnya yaitu tentang bagaimana kita selaku orangtua dapat menerimanya dengan hati yang terbuka dan lega.

Anak yang mandiri mungkin tak selalu mau menemui tempat di mana kita tuju. Bisa jadi mereka nggak selalu minta saran dari kita terus-menerus. Atau bisa juga mereka engga selalu bergantung pada kita dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa mereka sudah tiada lagi keperluan akan diri kita.

Kewajiban kami tidak sekadar mendidik mereka agar bisa bertahan sendiri, melainkan juga harus mampu melepas mereka dengan ikhlas.

Dan di penghujung hari, walaupun mereka telah memiliki kehidupan masing-masing, kita masih menjadi tempat yang senantiasa dapat mereka capai—tidak perlu membuat mereka terpaksa untuk bertahan.

Posting Komentar untuk "Setelah Mandiri, Lebih Suka Bermain Bersama Teman"